Topautopay.com – Diskriminasi dalam pelayanan BPJS kesehatan tidak boleh terjadi. Setiap peserta berhak mendapat pelayanan kesehatan yang sama, tanpa memandang ras, agama, gender, atau status sosial. Setiap klaim dan pengajuan harus ditangani dengan adil dan transparan. Diskriminasi hanya akan merugikan masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh program ini.
PEMERINTAH sedang dalam proses menyiapkan kelas rawat inap standar (KRIS) untuk pelayanan BPJS kesehatan. Dalam hal ini, pelayanan pasien rawat inap BPJS Kesehatan di setiap kelas akan sama. Setiap rumah sakit harus menerapkan kriteria kamar rawat inap yang ditetapkan pemerintah. Menanggapi hal tersebut, Koordinator Pengawasan BPJS Timboel Siregar mengatakan, jika KRIS diterapkan untuk satu ruang perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur, maka pemerintah dan BPJS Kesehatan juga harus memberikan kemudahan akses peserta JKN menuju ruang perawatan. “Jangan ada lagi diskriminasi yang dilakukan petugas rumah sakit dan tidak boleh ada lagi pasien JKN yang ditolak masuk ruang perawatan,” kata Timboel saat dihubungi, Jumat (12/1). Baca juga: Kelas Standar Rumah Sakit Jangan Dibicarakan Secara Luas Menurut dia, kelas 1, 2, dan 3 sebaiknya distandarisasi agar memudahkan rumah sakit dalam menyelenggarakannya. “Jika ruang perawatan hanya ada satu, pihak rumah sakit akan berusaha memperbarui ruang perawatan yang ada. Dan tentunya memerlukan biaya yang besar,” imbuhnya. Berdasarkan pantauan Timboel, penerapan ruang perawatan Kelas 1, 2, dan 3 yang ada selama ini sebenarnya tidak ada kendala. Menurut dia, kelas pengobatan hanya mengacu pada pelayanan non medis, sedangkan pelayanan medis akan sama di semua kelas pengobatan. Baca juga: Peralihan Kelas Keperawatan BPJS Kesehatan ke KRIS Bisa Bebankan Rumah Sakit Ia menilai permasalahan utama ruang perawatan program JKN saat ini adalah kemudahan akses ruang perawatan bagi peserta JKN. Masih adanya petugas rumah sakit yang melakukan diskriminasi terhadap pasien JKN dalam mengakses ruang perawatan. Petugas rumah sakit lebih mengutamakan pasien umum dibandingkan pasien JKN. “Inilah yang harus diperbaiki pemerintah, yakni memastikan pasien JKN mendapatkan bantuan untuk mendapatkan ruang perawatan di sistem jika rumah sakit penuh,” ujarnya. Atau jika ada petugas rumah sakit yang melakukan diskriminasi terhadap pasien JKN, Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan akan memberikan sanksi tegas kepada rumah sakit tersebut. “Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus membangun sistem yang memastikan pasien JKN yang kesulitan mengakses ruang perawatan segera terbantu dan disediakan ruang perawatan secara sistematis,” pungkas Timboel. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, sesuai tugas pokok dan fungsi yang ada, Kementerian Kesehatan telah menetapkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait penerapan KRIS di lapangan. “Tentunya kami akan bekerjasama dengan BPJS dalam pelaksanaan dan pengawasan di lapangan. Persiapan KRIS bekerja maksimal di lapangan baik rumah sakit negeri maupun swasta,” kata Azhar. (Ata/Z-7)
PEMERINTAH sedang dalam proses menyiapkan kelas rawat inap standar (KRIS) untuk pelayanan BPJS kesehatan. Dalam hal ini, pelayanan pasien rawat inap BPJS Kesehatan di setiap kelas akan sama. Setiap rumah sakit harus menerapkan kriteria kamar rawat inap yang ditetapkan pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Pengawasan BPJS Timboel Siregar mengatakan, jika KRIS diterapkan untuk satu ruang perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur, maka pemerintah dan BPJS Kesehatan juga harus memberikan kemudahan akses peserta JKN menuju ruang perawatan.
“Jangan ada lagi diskriminasi yang dilakukan petugas rumah sakit dan tidak boleh ada lagi pasien JKN yang ditolak masuk ruang perawatan,” kata Timboel saat dihubungi, Jumat (12/1).
Kursus standar rumah sakit tidak perlu dibahas secara rinci
Menurut dia, kelas 1, 2, dan 3 harus dibuat standar agar rumah sakit lebih mudah menyelenggarakannya. “Jika ruang perawatan hanya ada satu, pihak rumah sakit akan berusaha memperbarui ruang perawatan yang ada. Dan tentunya memerlukan biaya yang besar,” imbuhnya.
Berdasarkan pantauan Timboel, penerapan ruang perawatan Kelas 1, 2, dan 3 yang ada selama ini sebenarnya tidak ada kendala. Menurut dia, kelas pengobatan hanya mengacu pada pelayanan non medis, sedangkan pelayanan medis akan sama di semua kelas pengobatan.
Mengganti pengajaran pelayanan BPJS kesehatan dengan KRIS dapat membebani rumah sakit
Ia berpendapat, permasalahan utama ruang perawatan program JKN saat ini adalah bagaimana memberikan kemudahan bagi peserta JKN untuk mengakses ruang perawatan. Masih adanya petugas rumah sakit yang melakukan diskriminasi terhadap pasien JKN dalam mengakses ruang perawatan. Petugas rumah sakit lebih mengutamakan pasien umum dibandingkan pasien JKN.
“Inilah yang harus diperbaiki pemerintah, yakni memastikan pasien JKN mendapatkan bantuan untuk mendapatkan ruang perawatan di sistem jika rumah sakit penuh,” ujarnya.
Atau jika ada petugas rumah sakit yang melakukan diskriminasi terhadap pasien JKN, Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan akan memberikan sanksi tegas kepada rumah sakit tersebut.
“Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus membangun sistem yang memastikan pasien JKN yang kesulitan mengakses ruang perawatan segera terbantu dan disediakan ruang perawatan secara sistematis,” pungkas Timboel.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Azhar Jaya mengatakan, sesuai tugas pokok dan fungsi yang ada, Kementerian Kesehatan telah menetapkan berbagai kebijakan dan peraturan terkait penerapan KRIS di lapangan.
“Tentunya kami akan bekerjasama dengan BPJS dalam pelaksanaan dan pengawasan di lapangan. Persiapan KRIS bekerja maksimal di lapangan baik rumah sakit negeri maupun swasta,” kata Azhar. (Ata/Z-7)
Pelayanan BPJS kesehatan harus adil dan tidak diskriminatif. Setiap peserta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa memandang status sosial, ekonomi, agama, atau gender. Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan tidak dapat diterima dalam sistem kesehatan yang adil dan berkeadilan.