Topautopay.com – Saat berkampanye, pejabat wajib mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Hal ini mencakup penggunaan sumber daya negara, penyebaran informasi yang akurat, dan menyesuaikan diri dengan jadwal resmi kampanye. Menjalankan kampanye dengan integritas dan tertib adalah kewajiban bagi setiap pejabat yang mengikuti proses demokrasi.
KOORDINATOR Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan, persoalan mundur atau tidaknya pejabat pemerintah atau menteri peserta pemilihan umum (pemilu) merupakan pilihan masing-masing. Namun, dia menegaskan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengeluarkan aturan yang harus dipatuhi oleh pejabat publik selama kampanye. “Mundur itu pilihan individu, individu. Itu pilihan masing-masing pejabat publik. Kalau ada yang memutuskan mundur, maka diberi ruang untuk mundur. Tapi kalau masih menjabat, berarti harus mengikuti aturan yang ada.” aturan mengenai pengelolaan kampanye yang diatur dengan undang-undang,” kata Ari. Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan Pengunduran Diri Dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Wakil Rakyat Daerah Dewan, Presiden dan Wakil Presiden, Meminta izin mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta Izin melakukan kampanye Pemilihan Umum. Presiden terbitkan PP pada 21 November 2023. Baca juga: Bawaslu bentuk tim pemantau kampanye untuk pantau peserta pemilu Ari menjelaskan, presiden ingin tegaskan netralitas, termasuk melarang penggunaan fasilitas negara oleh menteri, kepala lembaga nonkementerian, dan yang lain. Kemudian juga peraturan terkait aparatur sipil negara (ASN), TNI/Polri. “Itu sudah ada. Kita mengikuti koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semua sudah jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bahkan ada ancaman sanksi pidana untuk itu,” kata Ari. Baca juga: Jaksa Agung Awasi Penggunaan Dana Kampanye pada Pemilu 2024. Lebih lanjut Ari menjelaskan, aturan cuti kampanye di PP mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan Mahkamah Konstitusi, lanjutnya, bersifat final dan mengikat semua pihak. Soal aturan mundur atau tidak, Mahkamah Konstitusi sudah mengambil keputusan final dan mengikat. Sekarang tinggal menyesuaikan aturan dan ketentuan dengan keputusan itu, jelasnya. Terkait kecurangan, menurut Ari, semua pihak berperan dalam mengawasi dan memantau kualitas pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan pengawasan masyarakat memegang peranan penting. “Ada KPU, ada Bawaslu sebagai hakim penyelenggara pemilu, lalu ada DKPP, dan juga ada pengawasan masyarakat, yang tentunya akan dilakukan secara bersama-sama agar pemilu ini berlangsung secara tertib. sehat, bermutu dan tentunya keren,” jelasnya. . Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan para pejabat harus mengambil cuti sejak awal proses pemilu dimulai. Pemilu kali ini, kata dia, situasinya berbeda, masa kampanye baru dimulai pada Selasa (28 November). “Meski kita tahu ada masa abu-abu sebelum masa kampanye dimulai. Padahal, masa seperti sekarang ini lebih rentan karena ada celah hukum. Sulit mengambil tindakan jika ada potensi penyalahgunaan kekuasaan,” dia berkata. Terpisah, Kepala Peneliti Pusat Kajian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan, dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tidak ada aturan yang mengharuskan menteri atau pejabat pemerintah mengundurkan diri. Namun, untuk menghindari konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan, mereka harus secara etis mengundurkan diri dan meninggalkan jabatannya. “Kita tidak tahu apakah kedepannya mereka benar-benar memanfaatkan jabatannya dan keuntungan yang didapat, itu tidak akan terjadi. Untuk menghindarinya, sebaiknya mereka mengundurkan diri,” kata Lili. (Z-10)
KOORDINATOR Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan, persoalan mundur atau tidaknya pejabat pemerintah atau menteri peserta pemilihan umum (pemilu) merupakan pilihan masing-masing. Namun, dia menegaskan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengeluarkan aturan yang harus dipatuhi oleh pejabat publik selama kampanye.
“Mundur itu pilihan individu, individu. Itu pilihan masing-masing pejabat publik. Kalau ada yang memutuskan mundur, maka diberi ruang untuk mundur. Tapi kalau masih menjabat, berarti harus mengikuti aturan yang ada.” aturan mengenai pengelolaan kampanye yang diatur dengan undang-undang,” kata Ari.
Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengajuan Pengunduran Diri Dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Wakil Rakyat Daerah Dewan, Presiden dan Wakil Presiden, Meminta izin mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta Izin melakukan kampanye Pemilihan Umum. PP dilantik Presiden pada 21 November 2023.
Ari menjelaskan, Presiden ingin menekankan netralitas, termasuk larangan penggunaan fasilitas pemerintah oleh menteri, pimpinan lembaga nonkementerian dan lain-lain. Kemudian juga peraturan terkait aparatur sipil negara (ASN), TNI/Polri.
“Itu sudah ada. Kita mengikuti koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semua sudah jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bahkan ada ancaman sanksi pidana,” kata Ari.
Lebih lanjut Ari menjelaskan, aturan mengenai cuti kampanye di PP tersebut mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan Mahkamah Konstitusi, lanjutnya, bersifat final dan mengikat semua pihak.
“Soal aturan mundur atau tidak, Mahkamah Konstitusi sudah mengambil keputusan final dan mengikat. Sekarang tinggal menyelaraskan aturan main dengan keputusan itu,” jelasnya.
Terkait kecurangan, menurut Ari, semua pihak berperan dalam mengawasi dan memantau kualitas pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan pengawasan masyarakat memegang peranan penting.
“Ada KPU, ada Bawaslu sebagai hakim penyelenggara pemilu, lalu ada DKPP, dan juga ada pengawasan masyarakat, yang tentunya akan dilakukan secara bersama-sama agar pemilu ini berlangsung secara tertib. sehat, bermutu dan tentunya keren,” jelasnya. .
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan para pejabat harus mengambil cuti sejak awal proses pemilu dimulai. Pemilu kali ini, kata dia, situasinya berbeda, masa kampanye baru dimulai pada Selasa (28 November).
“Meski kita tahu ada masa abu-abu sebelum masa kampanye dimulai. Padahal, masa seperti sekarang ini lebih rentan karena ada celah hukum. Sulit mengambil tindakan jika ada potensi penyalahgunaan kekuasaan,” dia berkata.
Terpisah, Kepala Peneliti Pusat Kajian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan, dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tidak ada aturan yang mengharuskan menteri atau pejabat pemerintah mengundurkan diri. Namun, untuk menghindari konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan, mereka harus secara etis mengundurkan diri dan meninggalkan jabatannya.
“Kita tidak tahu apakah mereka benar-benar memanfaatkan jabatannya dan keuntungan yang didapat ke depannya, itu tidak akan terjadi. Untuk menghindarinya, sebaiknya mereka mengundurkan diri,” kata Lili. (Z-10)
Dalam kampanye politik, pejabat harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh. Hal ini penting untuk memastikan proses demokratis berjalan dengan fair dan transparan. Mereka harus bertanggung jawab atas setiap tindakan dan komunikasi yang dilakukan selama kampanye untuk memastikan integritas dan keadilan dalam proses politik.